Proses pendidikan di Miftahul Ulum (selanjutnya disingkat MU) sejak awal berdirinya berjalan dengan sangat alami. Dalam artian, tidak terpaku pada satu sitem yang kaku sebagaimana berpedoman (hanya) pada kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah. Kegiatan belajar mengajar dan seluruh proses yang berlansung di lingkungan MU mengikuti alur perkembangan sosial, kondisi lingkungan, dan terpenting kondisi peserta didik. Hal ini mengingat di setiap tahunnya permasalahan yang dihadapi tidak sama, cendrung dinamis sehingga penerapan sistem pendidikannya perlu melakukan inovasi terus-menerus yang sesuai dengan kebutuhan.
Peserta didik yang berada di MU adalah anak kampung, yang tingkat motivasi belajarnya tidak tinggi. Pengamatan yang dilakukan selama ini mereka bersekolah, meski tidak semuanya, sekedar ikut-ikutan saja. Dorongan dan dukungan dari orang tua mereka bisa dibilang kurang, hal itu bisa disebabkan salah satunya para orang tua belum menemukan arti pentingnya sekolah. Bagi mereka anak ke sekolah yang penting bisa membaca dan berhitung, dan ironisnya ada sebagian menyekolahkan anaknya beberapa tahun sekedar mengisi waktu dalam menunggunya tumbuh menjadi remaja untuk kemudian setelah dirasa anaknya bisa membantu berladang maka ditariknya dia dari sekolah, alias berhentikan. Yang terjadi kemudian, banyak peseta didik yang tidak menamatkan sekolahnya di tingkat sekolah dasar (Madrasah Ibtidaiyah).
Itu berlangsung hingga sekitar akhir tahun 2002. Memasuki awal tahun 2003, kesadaran masyarakat terhadap pendidikan mulai tumbuh terbukti lulusan Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum bermunculan dan bahkan melanjutkan ke jenjang berikutnya yakni Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP). Namun permasalahan muncul di kalangan masyarakat kampung Sasar, selaku basis peserta didik MU, yakni akan melanjutkan sekolah di mana sedangkan biaya pendidikan tidak mampu mereka jangkau. Demi untuk menjawab permasalahan tersebut, inisiatif mendirikan Madrasah Tsanawiyah (yang kemudian hari beralih menjadi SMP Terpadu) di MU. Pada tahun 2004-2005 lulusan MTs dari Miftahul Ulum bermunculan dan hingga akhirnya sampai sekarang jumlah lulusan MTs Miftahul Ulum sudah lebih dari 90-an orang. Jumlah ini dibilang banyak karena mengingat masyarkat kampung Sasar yang sulit menerima kenyataan bahwa pendidikan di sekolah itu penting.
Dalam perjalanannya, ada beberapa hal yang bagi penulis selalu menjadi permasalahan besar dan perlu segera mungkin ditemukan solusinya. Permasalahan mendasar tersebut dari segi skala prioritasnya terdapat satu hal. Mumpung sekarang masa pertengahan semester, sekalian mengoreksi nilai ulangan peserta didik juga sekaligus para pendamping (guru) mengevaluasi proses belajar mengajarnya untuk kemudian di semester berikutnya (genap) mulai diperbaiki.
Membaca dan Menulis. Perkara ini menjadi paling mendasar yang sedang dihadapi oleh MU. Pasalnya, peserta didik setiap tahunnya di kelas 4-6 MI masih saja terdapat siswa yang kemampuan menulisnya baik tulis latin atau arab masih lemah, termasuk juga membacanya. Untuk hal ini, penulis menaruh perhatian besar pada penulisan dan membaca bahasa Indonesia. Selalu terdapat siswa yang kurang bisa menuliskan kata dasar dan membaca tulisan berbahasa Indonesia. Memang tidak banyak, hanya ada 1 atau 2 siswa yang mengalami masalah tersebut. Setelah ditelusuri persalahan yang dialami siswa tersebut hamper sama, yakni mereka aras-arasan/malas/enggan mengerjakan tugas dari guru untuk membaca atau menulis, sehingga kemampuan menulis dan membaca mereka kurang terasah. Penyebabnya bisa ditengarai bahwa ia bosan dan memberontak. Ya, sikap mereka tidak mau melakukan tugas dari guru untuk membaca atau menulis adalah bentuk pemberontakan.
Memberontak untuk apa? Inilah yang perlu para guru cari jawabannya. Namun sepengalaman penulis lakukan pengamatan, mereka memberontak pada cara guru memperlakukan atau mengajar mereka. Sebagian guru, diakui atau tidak, masih menggunakan cara lama dalam mengajar, yakni dengan mengekang peserta didik tanpa memberi pilihan. Kerjakan tugas atau terima konsekuwensi berupa hukuman. Hukuman bisa bermacam berntuknya, berdiri, tidak dapat nilai atau bentuk hukuman yang menekan para peserta didik. Pada intinya, mereka melawan untuk rasa tertekan dan terkekang itu. Mereka ingin bebas menentukan pilihan.
Bentuk tekanan atau kekangan itu muncul dari intimidasi guru kepada peseta didik, atau “nasehat” dan memarahi yang selalu diulang-ulang sehingga mereka merasa jenuh dan tidak bebas memilih.
Guru perlu menemukan solusinya. Sedikit bocoran dari penulis, yang perlu dilakukan oleh guru adalah menghadirkan rasa nyaman kepada peserta didik. Mereka tidak merasa tertekan dan terkekang melainkan mengerjakan tugas dari guru menjadi pilihan yang menyenangkan bagi mereka. Rasa nyaman itu akan hadir jika peserta didik merasa diberikan kebebasan untuk memilih. Ya, biarkan mereka memilih dan menentukan apa yang nyaman untuk mereka lakukan. Dan arahkan mereka untuk nyaman memilih mengerjakan tugas dari guru.
Untuk hal itu, Bukik Setiawan mengatakan antara guru dan peseta didik membuat kesepakatan. Penulis menyebutnya “kontrak belajar”.
Kesepakatan yang berlaku baik untuk pelajar maupun guru adalah cara membangun titik temu personal antara guru dengan pelajar. Dengan kesepakatan, pelajar menyadari "aturan main" dalam berperilaku di kelas. Kelas yang mempunyai kesepakatan akan mampu mengatur dirinya sendiri, tidak harus selalu dinasehati dan dimarahi guru. (Dikutip dari Kelas Tanpa Guru)
Kontrak kerja ini dilakukan di awal pelajaran. Ini bias dilakukan saat pertama kali masuk di awal tahun, atau di awal semester genap. Mumpung sebentar lagi akan memasuki permulaan semester genap, mari pendaping/guru Miftahul Ulum mulai menyusun draf kontrak belajar dengan siswa dan usahakan bikin draf kontrak belajar senyaman mungkin bagi peserta didik dan bagi guru.
Akhirnya, selamat beraktivitas wahai para penyelamat generasi muda dan bangsa. Wallahua’lam Bisshowab.
Malang, 16 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar